Kemenag Sebut Pendirian Rumah Ibadah Jadi Sumber Kerentanan

News68 Views

Kemenag Sebut Pendirian Rumah Ibadah Jadi Sumber Kerentanan Pernyataan terbaru dari Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia bahwa pendirian rumah ibadah dapat menjadi sumber kerentanan sosial memicu diskusi publik yang cukup luas. Pernyataan ini disampaikan dalam konteks penguatan moderasi beragama dan upaya menjaga keharmonisan antarumat beragama di Indonesia.

Fenomena penolakan pembangunan rumah ibadah oleh sebagian kelompok masyarakat memang bukan hal baru di Tanah Air. Kasus-kasus seperti penolakan gereja, vihara, masjid, atau pura di sejumlah daerah kerap menjadi sorotan media dan menciptakan ketegangan sosial yang tidak jarang berujung konflik horizontal.

Pernyataan Kemenag dan Konteksnya

Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kemenag, dalam sebuah forum diskusi, menyampaikan bahwa pendirian rumah ibadah merupakan salah satu titik rawan dalam kerukunan antarumat beragama. Bukan karena ibadahnya yang menjadi masalah, melainkan persoalan administratif, lokasi, dan persepsi sosial di masyarakat sekitar.

Dalam praktiknya, pendirian rumah ibadah sering menghadapi kendala dalam pemenuhan syarat administratif sesuai Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, terutama dalam aspek:

  • Dukungan warga sekitar
  • Izin dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
  • Surat rekomendasi dari pemerintah daerah

Pendapat penulis: Ketentuan administratif ini memang dimaksudkan untuk menjaga harmoni, namun dalam praktiknya justru dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang intoleran untuk menghalangi kebebasan beragama.

Sumber Kerentanan Sosial: Bukan pada Keyakinan, Tapi pada Prosedur

Kemenag menekankan bahwa sumber kerentanan bukan terletak pada perbedaan agama atau kegiatan keagamaan itu sendiri, melainkan pada proses pendirian dan dinamika sosial di sekitar lokasi pembangunan.

Misalnya, jika ada komunitas kecil yang ingin membangun rumah ibadah di daerah dengan mayoritas agama berbeda, seringkali muncul penolakan meskipun mereka telah memenuhi syarat administratif. Hal ini menunjukkan bahwa ketegangan bukan hanya soal hukum, tapi juga persepsi dan penerimaan sosial.

Pendapat penulis: Inilah tantangan besar dalam konteks kebhinekaan. Diperlukan pendekatan yang lebih proaktif untuk membangun pemahaman lintas iman, bukan sekadar pendekatan legal formal.

Data dan Fakta Lapangan Pendirian Rumah Ibadah

Menurut laporan tahunan dari Setara Institute dan Wahid Foundation, sengketa rumah ibadah selalu masuk dalam 5 besar isu intoleransi beragama di Indonesia. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, tercatat puluhan kasus rumah ibadah yang diblokir, dihentikan pembangunannya, bahkan dibongkar oleh massa.

Dari sisi legal, pemerintah pusat telah berulang kali menyatakan komitmennya terhadap kebebasan beragama yang dijamin dalam UUD 1945 Pasal 29. Namun dalam implementasinya, banyak pemerintah daerah yang tidak tegas dalam memberikan perlindungan atau terkesan “bermain aman” di tengah tekanan masyarakat.

Peran FKUB dan Masyarakat Sipil

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) menjadi ujung tombak dalam menyaring dan memberikan rekomendasi atas pendirian rumah ibadah. Namun, tantangan yang dihadapi FKUB adalah soal objektivitas dan representasi kelompok minoritas.

Banyak kritik diarahkan pada FKUB yang dianggap masih didominasi oleh kelompok mayoritas. Sehingga sulit untuk memberi keadilan bagi minoritas dalam pengambilan keputusan.

Di sisi lain, peran masyarakat sipil sangat penting untuk memberikan edukasi, membangun empati, dan mendorong dialog antarumat beragama agar isu rumah ibadah tidak menjadi alat politisasi atau provokasi.

Pendapat penulis: FKUB perlu direformasi agar lebih representatif dan independen, serta tidak menjadi alat pembenaran praktik diskriminatif dalam pendirian rumah ibadah.

Solusi dan Rekomendasi Pendirian Rumah Ibadah

Beberapa solusi yang disarankan oleh Kemenag dan para pakar dalam mengurangi potensi konflik terkait rumah ibadah antara lain:

  1. Revisi peraturan bersama menteri tahun 2006 agar lebih inklusif dan tidak multitafsir
  2. Peningkatan kapasitas dan netralitas FKUB di tingkat daerah
  3. Edukasi publik dan tokoh agama untuk mendorong toleransi dan pengakuan hak beribadah
  4. Pendekatan kultural dan mediasi sosial sebelum pembangunan rumah ibadah
  5. Perlindungan hukum yang lebih tegas dari aparat dan pemda terhadap upaya intoleran

Langkah-langkah ini perlu didukung dengan komitmen politik dari pusat hingga daerah. Agar Indonesia tidak terjebak dalam konflik sektarian yang seharusnya bisa dicegah.

Moderasi Beragama Harus Dimulai dari Perlindungan Hak

Pernyataan Kemenag bahwa pendirian rumah ibadah bisa menjadi sumber kerentanan sosial adalah peringatan penting bahwa harmoni beragama tidak datang secara otomatis. Melainkan harus dijaga secara sadar dan aktif.

Negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap warga negara dapat menjalankan ibadahnya secara bebas dan aman. Peraturan yang ada harus dievaluasi agar tidak justru menjadi alat diskriminasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *